BELAJAR DARI KARTINI

0
361

Ibu kita Kartini

Putri sejati, Putri Indonesia

harum namanya

….

Wahai ibu kita Kartini

Putri yang mulia

Sungguh besar cita-citanya

bagi Indonesia

Masih ingatkah kita dengan kutipan lagu di atas? Syair lagu yang menceritakan sosok perempuan ‘Bumiputera’ yang berjuang dengan caranya sendiri, untuk melepaskan belenggu kebodohan dari kaumnya dan bangsanya. Sosok yang hingga kini ‘hanya’ dikenal sebagai pahlawan emansipasi wanita Indonesia, padahal cita-citanya melampaui itu. Ya, sosok itu adalah Kartini.

Kartini yang bernama lengkap Raden Ajeng Kartini (setelah menikah menjadi Raden Ayu) lahir di Jepara, 21 April 1879. Kartini adalah cucu Bupati Demak, Pangeran Ario Tjondronegoro yang terkenal suka dan sangat berminat akan kemajuan. Beliau adalah bupati pertama yang mendidik anak-anaknya, laki-laki maupun perempuan dengan pendidikan ala eropa. Sebelum meninggal, P.A. Tjondronegoro pernah berkata, “Anak-anakku, jika tidak mendapat pelajaran, engkau tiada akan mendapat kesenangan, turunan kita akan mundur, ingatlah.”, maka tahulah kita bahwa semangat belajar dan rasa ingin tahu Kartini telah berurat akar di dalam keluarganya. Namun, bukan berarti semua menjadi mulus jalannya bagi cita-cita Kartini, dia tetaplah seorang anak perempuan, yang pada masa itu masih terbelenggu oleh kerasnya adat istiadat. Saat berumur 8 tahun beliau disekolahkan, tetapi ketika menginjak usia 12 tahun beliu dipingit, umur 16 tahun barulah kartini kembali bisa melihat dunia luar, kemudian dipingit lagi. namun sejak berumur 19 tahun, Kartini diizinkan untuk keluar dari tembok pingitan hingga pada tanggal 8 November 1903 Kartini dinikahkan dengan R. Adipati Djaja Adiningrat. Pola pingitan seperti itu sempat dicela oleh kelompok bangsawan Jawa, namun ayahnya tidak bergeming. Apakah dengan kondisi seperti itu (dipingit) cita-cita kartini menjadi melemah? Tidak, tetapi menjadi lebih membara lagi.

Kembali kepada pernyataan awal tadi, Kartini hingga saat ini ‘hanya’ dikenal sebagai pahlawan emansipasi wanita Indonesia, semangatnya untuk belajar adalah semangat untuk menuntut hak-haknya sebagai perempuan, padahal cita-citanya melampaui itu. Jika kita melihat sisi lain dari semangat Kartini, terlihat bahwa pergerakan yang dilakukan R.A Kartini adalah proses pembangkitan semangat menuntut ilmu. Semasa Kartini hidup, masih jarang kaum bumiputera khususnya perempuan yang mengikuti kegiatan belajar di sekolah, masih jarang yang mengerti baca tulis, dan masih jarang yang mampu bergaul dengan kalangan di luar kelompoknya. Dengan semangat pembaharuan, Kartini menyadarkan kita bahwa kemampuan yang ada dalam diri kita perlu dikembangkan. Salah satu cara untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri kita adalah dengan semangat belajar. Semangat belajar inilah yang terkadang kita lupakan karena dibayang-bayangi dengan semangat emansipasi. Ungkapan yang begitu popular “habis gelap terbitlah terang”, merupakan sebuah pertanda bahwa dengan belajar seseorang akan keluar dari kebodohan. Prinsip yang diungkapkan Kartini ini merupakan sebuah inspirasi yang didapatkannya dari QS Al Baqarah : 257, “yukhrijuhum minadzhulumaati ilaannuur” yang artinya ‘Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya (Mistraji: 2009).

Nah, bagaimana dengan kondisi generasi muda sekarang, dengan kebebasan yang dimiliki, apakah semangat untuk belajar dan mengejar cita-cita menjadi lebih kuat lagi?

Kartini pernah menulis  harapannya terhadap bangsa ini dalam surat yang dikirimkan kepada Nona Zeehandelaar, 9 januari 1901, ia menyatakan bahwa “Akan datang juga kiranya keadaan baru dalam dunia Bumiputera; kalau bukan oleh karena kami, tentu oleh karena orang lain”. Betapa mulianya cita-cita kartini, tetapi seandainya kartini masih hidup alangkah kecewa jiwa dan raganya menyaksikan carut marut pola pendidikan di negeri ini. Kebebasan yang diraih dengan amat sangat gampangnya oleh generasi muda sekarang, tidaklah dipandang sebagai suatu anugerah. Generasi muda kita terlena dengan trend westernisasi, sekolah malah dianggap sebagai penjara pingitan zaman sekarang. Generasi muda kita telah terbuai dengan kemudahan-kemudahan hidup. Orang tua yang seharusnya menjadi partner guru dalam mengawasi perkembangan anak, tanpa sadar terkadang menjadi “bodyguard” yang membela anak habis-habisan dalam hal apapun. Kapankah kita bisa belajar dari kartini?

Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.

Kini tinggal kemauan keras dari seluruh bangsa untuk memulai era baru, yaitu era pendidikan dan era pengetahuan. Janganlah lagi saling menyalahkan pihak manapun. Sadarilah bahwa majunya mutu pendidikan Indonesia terletak ditangan kita. Teruskan perjuangan R.A. Kartini untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang beradab, berpendidikan, bisa bersaing dan berakhlak mulia. “Wahai, itulah sebabnya maka aku berkehendak, jika mendidik anak, haruslah juga usahakan mendidik watak, yakni yang terutama haruslah juga diusahakan ialah memperkukuh rasa kemauan anak yang dididik itu. Rasa kemauan itu wajiblah dibesar-besarkan oleh pendidikan, terus-menerus…( Surat Kartini kepada Tuan E.C. Abendanon, 15 Agustus 1902).

Sumber Rujukan:

1. Armijn Pane. 2007. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta:Balai Pustaka.

2. Ciri-ciri dan Masalah Pendidikan di Indonesia. http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14

3. Mistraji.2004. Semangat Kartini, Semangat Menimba Ilmu.blogspot.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini